• HUMOR
  • Sabtu, 18 Agustus 2012

    Bola Hitam & Bola Putih


    Ari, begitulah nama panggilannya. Dia adalah anak satu-satunya dari sebuah keluarga yang bahagia. Bapaknya adalah seorang yang terpelajar dan memiliki kekayaan dari hasil warisan orang tuanya. Ibunya adalah seorang wanita karier yang sangat sukses. Kedua orang tua Ari sangat sayang padanya.
    Suatu hari, Ari terlihat termenung memperhatikan sepatu yang digunakan teman TK-nya. Ibunya yang sempat melihat hal ini menjadi terenyuh dan ingin membelikan Ari sepasang sepatu untuknya. “Ari mau sepatu seperti yang dipakai Andre?” tanya Ibunya.
    “Nggak Bu,” katanya tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
    “Lho, nggak apa-apa Ari, Ibu bisa kok membelikan sepatu seperti itu. Bahkan kalau Ari mau yang lebih bagus dari itu, Ibu juga bisa belikan.”
    Ari menggelengkan kepalanya. “Nggak ah Bu. Kalau Ibu memang punya uang, Ari minta dibelikan bola berwarna hitam dan putih saja.”

    “Untuk apa bola hitam dan putih Ari ? Kamu tidak senang dengan sepatu bagus yang dipakai oleh Andre teman sekelasmu?”
    Ari menggelengkan kepalanya, “Ari bukannya nggak senang sama sepatunya Andre. Ari senang kok kalau Ibu mau belikan sepatu seperti itu. Tapi Ari juga minta dibelikan bola hitam dan bola putih.”
    “Oke deh. Ibu belikan dua-duanya ya ?”
    Begitulah yang terjadi, pulang sekolah Ibunya langsung mengantarkan Ari untuk membeli sepatu yang jauh lebih bagus dibandingkan sepatu Andre teman kelasnya. Sesudah itu, meskipun agak sulit mencarinya, akhirnya Ari juga mendapatkan bola hitam dan bola putih yang dijanjikan Ibunya. Ari begitu senang dengan apa yang dibelikan Ibunya hari itu. Sepatunya langsung dipakai sementara bola hitam dan bola putihnya dia taruh di kamar dan tak pernah disentuhnya lagi.
    5 tahun kemudian, ketika Ari sudah kelas 4 SD, Ayahnya ingin sekali membelikanya sepeda. Ayahnya ingin sekali melihat anaknya bermain sepeda dengan anak-anak di kompleks tempat tinggal mereka. Kala itu, sepeda BMX adalah sepeda impian anak-anak seumuran Ari.
    “Ayah belikan sepeda seperti punya Dani yah ?. Mau ?”, tanya Ayahnya kepada Ari yang saat itu memang sedang memperhatikan sepeda BMX punya Dani anak tetangga sebelah rumah.
    “Ari nggak mau Yah.”
    “Lho ? Kenapa ? apa kamu ingin sepeda yang lebih bagus dari punya Dani ? Ayah bisa kok membelikan sepeda BMX yang lebih bagus dan asli buatan Amerika,” kata Ayahnya bangga.
    “Ari sebenarnya bukan nggak mau sepeda BMX seperti punya Dani Yah.”
    “Lalu ?” tanya Ayahnya agak bingung.
    “Tapi Ari kalau boleh memilih mau dibelikan apa, Ari lebih memilih dibelikan dua buah bola, warna hitam dan warna putih.”
    “Oh begitu. Tapi seingat Ayah, kamu pernah dibelikan Ibu bola hitam dan bola putih 5 tahun yang lalu ketika kamu dibelikan sepatu. Sekarang Ayah lihat bola hitam dan bola putih itu masih tetap ada di lemari kamar kamu, dan juga kamu nggak pernah memainkannya.”
    “Pokoknya Ari ingin dibeliin bola hitam dan bola putih ajah.”
    “Oke oke. Ayah belikan sepeda BMX, bola hitam dan bola putih yah ? Gimana ?” tanya Ayahnya. Ari menanggukan kepalanya dan tersenyum senang.
    Esok harinya, Ari pergi dengan Ayahnya untuk membeli sepeda BMX dan dua buah bola hitam dan putih. Sesampainya di rumah, bola hitam dan bola putih itu ditaruhnya di lemari tempat bola hitam dan bola putih yang 5 tahun lalu dibelikan Ibunya. Setelah itu, Ari pergi bermain menggunakan sepeda BMX barunya bersama teman-temannya.
    Ketika Ari menginjak bangku SMP, kedua orang tuanya ingin agar anak satu-satunya yang mereka sayangi bisa bermain gitar. Apalagi mereka sering memergoki Ari sedang melamun sambil memperhatikan Budi bermain gitar.
    “Ari sayang, Ayah dan Ibu akan membelikanmu sebuah gitar. Kamu pasti akan suka,” kata Ayahnya sambil tersenyum dan berharap anaknya akan menjawab, iya Ari suka.
    “Nggak mau Yah.”
    “Loh ? Kenapa ? Bukannya kamu sering memperhatikan Budi tetangga depan kita kalau lagi memainkan gitarnya ?”
    “Iya. Ari memang suka dengan gitar dan Ari ingin sekali bisa main gitar. Tapi kalau Ari bisa memilih, Ari lebih ingin dibelikan bola hitam dan bola putih,” katanya datar.
    “Ari,” kata Ayahnya heran dan sambil berusaha untuk tetap sabar. “Kok setiap kali ingin kami belikan sesuatu pasti minta bola hitam dan bola putih sih ? Ada apa kamu dengan bola hitam dan bola putih ? Di kamarmu sekarang ini sudah ada dua pasang bola hitam dan bola putih. Itu pun semenjak dibelikan tidak pernah rasanya Ayah dan Ibu melihat kamu memainkannya atau mempergunakannya.”
    “Pokoknya Ari mau dibeliin bola hitam dan bola putih.”
    “Oke. Oke.”
    “Sabar Yah, sabar”, kata Ibu menyabarkan Ayah yang sudah terlihat kurang bisa menahan kesabarannya. “Iya deh Ari. Ibu juga ingin melihat kamu itu bisa main gitar, makanya Ibu dan Ayah ingin membelikan kamu gitar.”
    “Iya, Ari mau ajah dibeliin gitar dan Ari juga mau belajar gitar. Tapi Ari minta dibeliin bola hitam dan bola putih juga.”
    Sorenya mereka pergi ke mall dan pulang membawa sebuah gitar yang bagus serta bola hitam dan bola putih. Seperti biasa, bola hitam dan bola putih dia taruhnya di lemari bersama dua pasang bola hitam dan bola putih sebelumnya. Setelah itu, dia pergi ke rumah Budi sambil membawa gitar barunya.
    Di bangku SMA, teman-temannya sudah banyak yang menggunakan sepeda motor. Ayah dan Ibunya merasa kasihan melihat anak satu-satunya jalan kaki pergi ke sekolah.
    “Ari, kamu mau sepeda motor apa ? Ayah akan belikan yang kamu suka. Hari ini kan ulang tahun kamu yang ke tujuh belas. Ayo, sebutkan saja, sepeda motor apa yang kamu ingin punya ?”
    “Ari ingin bola hitam dan bola putih ajah deh Yah.”
    “Ya ampun Ari, kamu ini kok tidak berubah juga sih ?” kata Ayah mulai kesal. “Kamu selalu minta dua barang itu. Apa sih untungnya bagi kamu itu ? Tiga pasang bola hitam dan bola putihmu yang di rumah itu untuk apa ?”
    “Sabar Yah,” kata Ibu menenangkan Ayah yang sudah mulai kesal.
    “Oke oke. Kali ini Ayah kabulkan untuk terakhir kalinya. Ayah akan belikan kamu motor dengan bola hitam dan bola putihmu itu,” kata Ayah cepat sekali seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Ari.
    Besok paginya, hari minggu, mereka pergi dan pulang membawa sepeda motor baru dengan dua buah bola hitam dan putih. Bola hitam dan putih langsung Ari masukan dalam lemari, setelah itu dia mencoba motornya dan pergi keliling kompleks.
    Tiga tahun kemudian, Ari diterima diperguruan tinggi swasta dan mengambil jurusan mesin. Teman-temanya saat itu sudah mulai mengendarai mobil. Ayahnya ingin sekali membelikan mobil untuk Ari, karena biar bagaimana pun, kedua orang tuanya merasa gengsi melihat anaknya masih naik motor sementara teman-temannya sudah mengendarai mobil.
    “Ari, Ayah mau membelikan kamu mobil tetapi kali ini jangan suruh Ayah beli bola hitam dan bola putihmu itu”, kata Ayah membuka pembicaraan dengan sedikit trauma. Bagaimana tidak, bola hitam dan bola putih benar-benar hal yang menyebalkan bagi Ayah, menyebalkan karena tidak pernah jelas apa maksudnya. Kali ini, pikirnya, Ayah tidak akan mau membelikan kamu mobil jika masih bersikeras minta dua benda yang nggak jelas itu.
    “Ari nggak mau Yah.”
    “Masih tetap bersikeras mau beli bola hitam dan bola putih sebelum Ayah belikan mobil ? Iya ?”
    “Iya”, kata Ari dengan mantap. “Kalu Ari boleh milih, Ari ingin dibelikan bola hitam dan bola putih saja. Kalau Ayah nggak mau belikan bola hitam dan bola putih, ya sudah, tidak usah belikan Ari mobil. Ari juga masih bisa naik motor.”
    “Oke kalau kamu mau begitu. Silakan saja,” kata Ayahnya kesal dan pergi masuk kamar tidurnya. Di kamar tidurnya Ayah berpikir keras, apa gerangan yang ada di otak anaknya itu. Dari dulu hanya ada bola hitam dan bola putih. Apa maksudnya ? Benar-benar tidak bisa masuk dalam nalar. Uang sebegini banyak hanya minta bola hitam dan bola putih yang harganya nggak seberapa itu. Aneh. Aneh sekali. Ada apa sih dengan bola hitam dan bola putih itu. Ayah merebahkan badannya yang sudah lelah ke tempat tidur, matanya memandang keatas, otaknya terus berputar memikirkan bola hitam dan bola putih, berpikir terus, hingga tak terasa ia pun tertidur.
    “Ayah, bangun. Ari Yah. Ari,” suara itu benar benar membuat Ayah bangun dari tidurnya. “Ari Yah … Ari.”
    “Ya ada apa dengan Ari.”
    “Ari kecelakaan Yah, motornya ditabrak mobil, sekarang dia ada di rumah sakit Yah.”
    “Ari ? Ditabrak ?” kata Ayah tidak percaya. Ayah segera bangkit dari tempat tidurnya. Pikirannya melayang tidak karuan. Ini pasti gara-gara saya pikirnya. Ari ingin mobil, tapi saya nggak mau membelikannya hanya karena … aduh, lagi-lagi bola hitam dan bola putih.
    “Ayo Bu, kita kerumah sakit segera,” kata Ayah mengajak dan berkemas pergi.
    Perjalanan menuju rumah sakit ternyata cukup lancar. Ayah mengendarai dengan kecepatan yang lebih dari biasanya. Sekali-kali dia bunyikan klakson, padahal rasanya tidak ada yang menghalangi jalan mobilnya. Tiba di pelataran rumah sakit, Ayah langsung memarkir mobolnya di tempat kosong yang pertama dilihatnya. Setelah parkir, keduanya pun turun dan setengah berlari masuk ke rumah sakit.
    Setelah menanyakan kamar gawat darurat di bagian informasi, keduanya segera berlari menaiki tangga karena lift sudah terlalu penuh. Sesampainya di lantai 2, keduanya segera masuk ke kamar gawat darurat dengan sebelumnya menggunakan baju lapis berwarna biru.
    Ari terlihat lemah tak berdaya. Tangan kanannya diberi infus yang terus menetes. Terdapat selang oksigen di kedua hidungnya, sementara kepalanya dibalut kain putih dengan warna agak memerah di bagian dahinya.
    “Bagaimana dokter ?” tanya Ayah dengan nafas masih tersengal-sengal.
    Dokter mengelengkan-gelengkan kepalanya, “Tabah ya Pak, yang sabar.”
    “Yah, mata Ari terbuka”, kata Ibu sambil menarik lengan Ayah. “Ari, ini Ibu … Ari.”
    “Ari, ini Ayah, bicaralah Ari. Ayah sayang sama kamu. Ayo bicara …”
    “Ari, ini Ibu, ayo bicara. Ari kenapa kamu kok bisa begini ?”
    “Ari, ini Ayah, Ari .. ayo sadar Ari. Ayah akan mau membelikan apa saja untukmu asalkan kamu bisa sembuh Ari. Ayo Ari, kamu kuat.”
    Mulut Ari sedikit terbuka, “Ari …. i … ngin …”. Multunya tertutup lagi lalu terbuka sedikit, “bo .. la hi .. tam .. dan …”
    “Cukup Ari, Ayah sudah tahu. Ayah akan belikan bola hitam dan bola putihmu sekarang. Tapi Ari … aduh Ari. Untuk apa bola hitam dan bola putih itu Ari ? Untuk Apa ? Ayah benar-benar nggak habis pikir sama kamu Ari, buat apa kamu selalu minta bola hitam dan bola putih itu ?”
    “Ay .. yah. Bo .. la .. it .. tu.”
    “Ya Ari … untuk apa ?”
    “Bo .. la it .. tu bu .. at … “
    “Ari ?”
    “Ari ?” tanya Ayahnya sambil menggocang-goncangkan badan Ari. “Ari ?”
    Dokter segera merangkul Ayah, dan Ayah pun menangis diikuti tangisan Ibu. Ari sudah pergi, pergi untuk selama-lamanya. Terus ? Bola hitam dan Bola putihnya untuk apa ? Auk ah ….




    sumber : http://riyogarta.com

    0 komentar:

    Posting Komentar

     
    Me On FacebookPranata Thanderiz | Sponsor by kratingdeng - Premium Blogger Themes | Online Project management