Ari, begitulah nama panggilannya. Dia adalah anak satu-satunya dari
sebuah keluarga yang bahagia. Bapaknya adalah seorang yang terpelajar
dan memiliki kekayaan dari hasil warisan orang tuanya. Ibunya adalah
seorang wanita karier yang sangat sukses. Kedua orang tua Ari sangat
sayang padanya.
Suatu hari, Ari terlihat termenung memperhatikan sepatu yang
digunakan teman TK-nya. Ibunya yang sempat melihat hal ini menjadi
terenyuh dan ingin membelikan Ari sepasang sepatu untuknya. “Ari mau
sepatu seperti yang dipakai Andre?” tanya Ibunya.
“Nggak Bu,” katanya tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
“Lho, nggak apa-apa Ari, Ibu bisa kok membelikan sepatu seperti itu.
Bahkan kalau Ari mau yang lebih bagus dari itu, Ibu juga bisa belikan.”
Ari menggelengkan kepalanya. “Nggak ah Bu. Kalau Ibu memang punya uang, Ari minta dibelikan bola berwarna hitam dan putih saja.”
“Untuk apa bola hitam dan putih Ari ? Kamu tidak senang dengan sepatu bagus yang dipakai oleh Andre teman sekelasmu?”
Ari menggelengkan kepalanya, “Ari bukannya nggak senang sama
sepatunya Andre. Ari senang kok kalau Ibu mau belikan sepatu seperti
itu. Tapi Ari juga minta dibelikan bola hitam dan bola putih.”
“Oke deh. Ibu belikan dua-duanya ya ?”
Begitulah yang terjadi, pulang sekolah Ibunya langsung mengantarkan
Ari untuk membeli sepatu yang jauh lebih bagus dibandingkan sepatu Andre
teman kelasnya. Sesudah itu, meskipun agak sulit mencarinya, akhirnya
Ari juga mendapatkan bola hitam dan bola putih yang dijanjikan Ibunya.
Ari begitu senang dengan apa yang dibelikan Ibunya hari itu. Sepatunya
langsung dipakai sementara bola hitam dan bola putihnya dia taruh di
kamar dan tak pernah disentuhnya lagi.
5 tahun kemudian, ketika Ari sudah kelas 4 SD, Ayahnya ingin sekali
membelikanya sepeda. Ayahnya ingin sekali melihat anaknya bermain sepeda
dengan anak-anak di kompleks tempat tinggal mereka. Kala itu, sepeda
BMX adalah sepeda impian anak-anak seumuran Ari.
“Ayah belikan sepeda seperti punya Dani yah ?. Mau ?”, tanya Ayahnya
kepada Ari yang saat itu memang sedang memperhatikan sepeda BMX punya
Dani anak tetangga sebelah rumah.
“Ari nggak mau Yah.”
“Lho ? Kenapa ? apa kamu ingin sepeda yang lebih bagus dari punya
Dani ? Ayah bisa kok membelikan sepeda BMX yang lebih bagus dan asli
buatan Amerika,” kata Ayahnya bangga.
“Ari sebenarnya bukan nggak mau sepeda BMX seperti punya Dani Yah.”
“Lalu ?” tanya Ayahnya agak bingung.
“Tapi Ari kalau boleh memilih mau dibelikan apa, Ari lebih memilih dibelikan dua buah bola, warna hitam dan warna putih.”
“Oh begitu. Tapi seingat Ayah, kamu pernah dibelikan Ibu bola hitam
dan bola putih 5 tahun yang lalu ketika kamu dibelikan sepatu. Sekarang
Ayah lihat bola hitam dan bola putih itu masih tetap ada di lemari kamar
kamu, dan juga kamu nggak pernah memainkannya.”
“Pokoknya Ari ingin dibeliin bola hitam dan bola putih ajah.”
“Oke oke. Ayah belikan sepeda BMX, bola hitam dan bola putih yah ?
Gimana ?” tanya Ayahnya. Ari menanggukan kepalanya dan tersenyum senang.
Esok harinya, Ari pergi dengan Ayahnya untuk membeli sepeda BMX dan
dua buah bola hitam dan putih. Sesampainya di rumah, bola hitam dan bola
putih itu ditaruhnya di lemari tempat bola hitam dan bola putih yang 5
tahun lalu dibelikan Ibunya. Setelah itu, Ari pergi bermain menggunakan
sepeda BMX barunya bersama teman-temannya.
Ketika Ari menginjak bangku SMP, kedua orang tuanya ingin agar anak
satu-satunya yang mereka sayangi bisa bermain gitar. Apalagi mereka
sering memergoki Ari sedang melamun sambil memperhatikan Budi bermain
gitar.
“Ari sayang, Ayah dan Ibu akan membelikanmu sebuah gitar. Kamu pasti
akan suka,” kata Ayahnya sambil tersenyum dan berharap anaknya akan
menjawab,
iya Ari suka.
“Nggak mau Yah.”
“Loh ? Kenapa ? Bukannya kamu sering memperhatikan Budi tetangga depan kita kalau lagi memainkan gitarnya ?”
“Iya. Ari memang suka dengan gitar dan Ari ingin sekali bisa main
gitar. Tapi kalau Ari bisa memilih, Ari lebih ingin dibelikan bola hitam
dan bola putih,” katanya datar.
“Ari,” kata Ayahnya heran dan sambil berusaha untuk tetap sabar. “Kok
setiap kali ingin kami belikan sesuatu pasti minta bola hitam dan bola
putih sih ? Ada apa kamu dengan bola hitam dan bola putih ? Di kamarmu
sekarang ini sudah ada dua pasang bola hitam dan bola putih. Itu pun
semenjak dibelikan tidak pernah rasanya Ayah dan Ibu melihat kamu
memainkannya atau mempergunakannya.”
“Pokoknya Ari mau dibeliin bola hitam dan bola putih.”
“Oke. Oke.”
“Sabar Yah, sabar”, kata Ibu menyabarkan Ayah yang sudah terlihat
kurang bisa menahan kesabarannya. “Iya deh Ari. Ibu juga ingin melihat
kamu itu bisa main gitar, makanya Ibu dan Ayah ingin membelikan kamu
gitar.”
“Iya, Ari mau ajah dibeliin gitar dan Ari juga mau belajar gitar. Tapi Ari minta dibeliin bola hitam dan bola putih juga.”
Sorenya mereka pergi ke mall dan pulang membawa sebuah gitar yang
bagus serta bola hitam dan bola putih. Seperti biasa, bola hitam dan
bola putih dia taruhnya di lemari bersama dua pasang bola hitam dan bola
putih sebelumnya. Setelah itu, dia pergi ke rumah Budi sambil membawa
gitar barunya.
Di bangku SMA, teman-temannya sudah banyak yang menggunakan sepeda
motor. Ayah dan Ibunya merasa kasihan melihat anak satu-satunya jalan
kaki pergi ke sekolah.
“Ari, kamu mau sepeda motor apa ? Ayah akan belikan yang kamu suka.
Hari ini kan ulang tahun kamu yang ke tujuh belas. Ayo, sebutkan saja,
sepeda motor apa yang kamu ingin punya ?”
“Ari ingin bola hitam dan bola putih ajah deh Yah.”
“Ya ampun Ari, kamu ini kok tidak berubah juga sih ?” kata Ayah mulai
kesal. “Kamu selalu minta dua barang itu. Apa sih untungnya bagi kamu
itu ? Tiga pasang bola hitam dan bola putihmu yang di rumah itu untuk
apa ?”
“Sabar Yah,” kata Ibu menenangkan Ayah yang sudah mulai kesal.
“Oke oke. Kali ini Ayah kabulkan untuk terakhir kalinya. Ayah akan
belikan kamu motor dengan bola hitam dan bola putihmu itu,” kata Ayah
cepat sekali seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Ari.
Besok paginya, hari minggu, mereka pergi dan pulang membawa sepeda
motor baru dengan dua buah bola hitam dan putih. Bola hitam dan putih
langsung Ari masukan dalam lemari, setelah itu dia mencoba motornya dan
pergi keliling kompleks.
Tiga tahun kemudian, Ari diterima diperguruan tinggi swasta dan
mengambil jurusan mesin. Teman-temanya saat itu sudah mulai mengendarai
mobil. Ayahnya ingin sekali membelikan mobil untuk Ari, karena biar
bagaimana pun, kedua orang tuanya merasa gengsi melihat anaknya masih
naik motor sementara teman-temannya sudah mengendarai mobil.
“Ari, Ayah mau membelikan kamu mobil tetapi kali ini jangan suruh
Ayah beli bola hitam dan bola putihmu itu”, kata Ayah membuka
pembicaraan dengan sedikit trauma. Bagaimana tidak, bola hitam dan bola
putih benar-benar hal yang menyebalkan bagi Ayah, menyebalkan karena
tidak pernah jelas apa maksudnya. Kali ini, pikirnya, Ayah tidak akan
mau membelikan kamu mobil jika masih bersikeras minta dua benda yang
nggak jelas itu.
“Ari nggak mau Yah.”
“Masih tetap bersikeras mau beli bola hitam dan bola putih sebelum Ayah belikan mobil ? Iya ?”
“Iya”, kata Ari dengan mantap. “Kalu Ari boleh milih, Ari ingin
dibelikan bola hitam dan bola putih saja. Kalau Ayah nggak mau belikan
bola hitam dan bola putih, ya sudah, tidak usah belikan Ari mobil. Ari
juga masih bisa naik motor.”
“Oke kalau kamu mau begitu. Silakan saja,” kata Ayahnya kesal dan
pergi masuk kamar tidurnya. Di kamar tidurnya Ayah berpikir keras, apa
gerangan yang ada di otak anaknya itu. Dari dulu hanya ada bola hitam
dan bola putih. Apa maksudnya ? Benar-benar tidak bisa masuk dalam
nalar. Uang sebegini banyak hanya minta bola hitam dan bola putih yang
harganya nggak seberapa itu. Aneh. Aneh sekali. Ada apa sih dengan bola
hitam dan bola putih itu. Ayah merebahkan badannya yang sudah lelah ke
tempat tidur, matanya memandang keatas, otaknya terus berputar
memikirkan bola hitam dan bola putih, berpikir terus, hingga tak terasa
ia pun tertidur.
“Ayah, bangun. Ari Yah. Ari,” suara itu benar benar membuat Ayah bangun dari tidurnya. “Ari Yah … Ari.”
“Ya ada apa dengan Ari.”
“Ari kecelakaan Yah, motornya ditabrak mobil, sekarang dia ada di rumah sakit Yah.”
“Ari ? Ditabrak ?” kata Ayah tidak percaya. Ayah segera bangkit dari
tempat tidurnya. Pikirannya melayang tidak karuan. Ini pasti gara-gara
saya pikirnya. Ari ingin mobil, tapi saya nggak mau membelikannya hanya
karena … aduh, lagi-lagi bola hitam dan bola putih.
“Ayo Bu, kita kerumah sakit segera,” kata Ayah mengajak dan berkemas pergi.
Perjalanan menuju rumah sakit ternyata cukup lancar. Ayah mengendarai
dengan kecepatan yang lebih dari biasanya. Sekali-kali dia bunyikan
klakson, padahal rasanya tidak ada yang menghalangi jalan mobilnya. Tiba
di pelataran rumah sakit, Ayah langsung memarkir mobolnya di tempat
kosong yang pertama dilihatnya. Setelah parkir, keduanya pun turun dan
setengah berlari masuk ke rumah sakit.
Setelah menanyakan kamar gawat darurat di bagian informasi, keduanya
segera berlari menaiki tangga karena lift sudah terlalu penuh.
Sesampainya di lantai 2, keduanya segera masuk ke kamar gawat darurat
dengan sebelumnya menggunakan baju lapis berwarna biru.
Ari terlihat lemah tak berdaya. Tangan kanannya diberi infus yang
terus menetes. Terdapat selang oksigen di kedua hidungnya, sementara
kepalanya dibalut kain putih dengan warna agak memerah di bagian
dahinya.
“Bagaimana dokter ?” tanya Ayah dengan nafas masih tersengal-sengal.
Dokter mengelengkan-gelengkan kepalanya, “Tabah ya Pak, yang sabar.”
“Yah, mata Ari terbuka”, kata Ibu sambil menarik lengan Ayah. “Ari, ini Ibu … Ari.”
“Ari, ini Ayah, bicaralah Ari. Ayah sayang sama kamu. Ayo bicara …”
“Ari, ini Ibu, ayo bicara. Ari kenapa kamu kok bisa begini ?”
“Ari, ini Ayah, Ari .. ayo sadar Ari. Ayah akan mau membelikan apa
saja untukmu asalkan kamu bisa sembuh Ari. Ayo Ari, kamu kuat.”
Mulut Ari sedikit terbuka, “Ari …. i … ngin …”. Multunya tertutup lagi lalu terbuka sedikit, “bo .. la hi .. tam .. dan …”
“Cukup Ari, Ayah sudah tahu. Ayah akan belikan bola hitam dan bola
putihmu sekarang. Tapi Ari … aduh Ari. Untuk apa bola hitam dan bola
putih itu Ari ? Untuk Apa ? Ayah benar-benar nggak habis pikir sama kamu
Ari, buat apa kamu selalu minta bola hitam dan bola putih itu ?”
“Ay .. yah. Bo .. la .. it .. tu.”
“Ya Ari … untuk apa ?”
“Bo .. la it .. tu bu .. at … “
“Ari ?”
“Ari ?” tanya Ayahnya sambil menggocang-goncangkan badan Ari. “Ari ?”
Dokter segera merangkul Ayah, dan Ayah pun menangis diikuti tangisan
Ibu. Ari sudah pergi, pergi untuk selama-lamanya. Terus ? Bola hitam dan
Bola putihnya untuk apa ? Auk ah ….
sumber : http://riyogarta.com